Artikel ini merupakan artikel langka yang membahas pengertian anekdot hukum peradilan beserta contoh dan analisisnya yang wajib kamu baca.
Yang special dari artikel ini adalah contoh-contoh anekdot hukum peradilan di dalamnya merupakan anekdot yang boleh dibilang terbaru dan segar. Maka tunggu apa lagi, simak pada artikel ini selengkapnya.
Apa sih yang dimaksud sebagai teks anekdot hukum peradilan? Sederhananya, teks anekdot hukum peradilan adalah teks yang berisi suatu cerita singkat berdasarkan kisah nyata mengenai fenomena hukum peradilan yang pernah terjadi atau sedang terjadi.
Tentunya, teks anekdot ini bisa mengisahkan kisah seseorang yang terpidana, kasus pidana tertentu, putusan peradilan hingga system perundang-undangan.
Biasanya teks anekdot hukum peradilan berisi sindiran atau kritikan terhadap situasi dan praktek hukum di suatu negara tertentu dan tak jarang teks anekdot hukum peradilan ini dikemas dengan nuansa humor yang menyinggung pihak-pihak tertentu terkait dengan kasus hukum tertentu.
Dengan demikian, merujuk pada pemahaman di atas, teks anekdot hukum peradilan dibuat dengan tujuan untuk mengkritik atau menyindir feomena-fenomena hukum yang biasanya menarik perhatian khalayak.
Objek kritik ini mencangkup aparatus hukum (pelaku/penegak hukum), kasus hukum, Undang-Undang, dan tokoh-tokoh tertentu yang terjerat kasus hukum.
Berikut ini merupakan beberapa contoh terbaru terkait dengan teks anekdot hukum peradilan yang menyoroti kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau sedang terjadi di Indonesia.
Contoh-contoh berikut ini disertai juga dengan analisis singkat terkait dengan struktur anekdot beserta konten dari contoh anekdot hukum peradilan yang disajikan.
pinterest.com
Di sebuah universitas hukum, seorang dosen memberikan pelajaran tentang hukum kepada mahasiswanya.
Dosen : Kalian ini nantinya akan menjadi para ahli hukum di Negara kita, untuk itulah kalian harus pandai dalam menafsirkan undang-undang yang berlaku di Negara kita.
Mahasiswa 1 : Pak, bagaimana caranya menafsirkan undang-undang dengan tepat?
Dosen : Caranya hanya satu, bacalah dengan seksama, lalu lihatlah situasinya.
Mahasiswa 1 : Maksudnya pak?
Dosen : Tidak ada tulisan yang bermakna tunggal. Demikian pula dengan kata-kata dalam undang-undang, semua bisa ditafsirkan sesuai kebutuhan.
Mahasiswa 2: Lalu apa yang harus kami lakukan pak?
Dosen : Pertama, kau lihat-lihat dengan siapa kau berhadapan, kedua kau harus tega membelokan makna undang-undang bilamana kau membela klien yang salah. Ketiga, kalian harus latihan agar tidak punya rasa malu.
Mahasiswa 3: Kami belum mengerti pak…
Dosen : Dasar kalian ini mahasiswa berotak sapi! Makanya lihat berita, itu lho kasus penodaan agama! Kan sudah jelas undang-undangnya masih saja mau dipelesetkan! Kenapa kok bisa dipelesetkan? Nanti kalau kalian sudah jadi pegawai hukum kalian juga akan mengerti kapan waktunya membela kebenaran dan kapan waktunya memelintir undang-undang.
# # # # #
Teks anekdot hukum peradilan di atas memiliki suatu struktur teks sebagaimana anekdot pada umumnya, yakni struktur yang tersusun atas Abstraksi (bagian pembuka)-Orientasi (bagian yang menjelaskan latar peristiwa secara lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan abstraksi)-Reorientasi (kadang ada kadang tidak karena fungsinya mirip dengan orientasi namun lebih spesifik ke pokok cerita dari teks tersebut)-Krisis (bagian genting yang biasanya mengandung kritik)-Koda (penutup teks; kadang-kadang jadi gong cerita).
Abstraksi secara singkat dimunculkan pada bagian teks yang paling awal, yakni paragraph pertama sebelum dialog.
Abstraksi ini memberikan informasi awal mengenai cerita anekdot tersebut. Abstraksi ini disusul dengan Orientasi yang muncul justru pada dialog awal pak dosen (bisa juga dikategorikan sebagai aksi-reaksi cerita) hingga pertanyaan mahasiswa 1 yang pertama.
Orientasi ini disusul kemudian dengan reorientasi pada bagian ketika pak dosen mulai menjelaskan pertanyaan mahasiswa 1 karena pada bagian ini focus cerita sudah semakin mengkerucut.
Krisis muncul dengan ditandai penjelasan dosen bahwa tidak ada teks yang bermakna tunggal, demikian pula dengan teks undang-undang.
Penjelasan ini mengkerucut hingga ke krisis, yakni ketika dosen menjelaskan tips-tips menjadi ahli hukum seperti misalnya harus melihat situasi yang dihadapi, siap membelokkan makna undang-undang hingga harus latihan agar tidak punya malu.
Krisis ini ditutup dengan koda (sekaligus menjadi puncak krisis) yang muncul pada dialoh dosen yang terakhir.
Anekdot diatas tentu saja mengkritik dua hal, pertama adalah bahasa dalam undang-undang yang cenderung dapat menimbulkan lebih dari satu tafsir sehingga mudah dibelokkan, dan yang kedua mengkritik para pelaku hukum khususnya kuasa hukum yang biasanya membela terdakwa atau menjadi jaksa penuntut; kita selalu dihadapkan pada dua hal, yakni benar dan salah.
Yang paling menyebalkan adalah ketika ada sebuah kasus dimana terdakwa sudah diketahui bersalah bahkan tanpa diadili sekalipun namun bisa saja bebas karena keahlian jaksa pembelanya yang pandai memelintir fakta, bersilat lidah, sekaligus membelokkan makna undang-undang yang menjadi patokan hukum.
pinterest.com
Pada suatu hari, si Budi dijadikan tersangka kasus penodaan agama setelah ia tidak sengaja kentut sewaktu ada pemuka agama yang tiba-tiba khotbah di tengah jalan diiringi ratusan pengikutnya.
Memang lagi sial nasib si Budi ini, pas ia kentut dengan suara nyaring ada salah seorang umat yang mendengar suara kentut itu, lantas si Budi dilaporkan ke polisi.
Kebetulan si Budi ini menganut ajaran agama yang berbeda sehingga lengkap sudahlah penderitaan dan tuduhan yang dilontarkan padanya.
Polisi : Saudara tahu dimana letak kesalahan saudara sehingga saudara kami panggil ke sini?
Budi : Kalau letak kesalahan saya tidak tahu pak, yang jelas saya kentut di pinggir jalan pas ada pemuka agama mengumandangkan doa. Mau bagaimana lagi pak, saya kebelet BAB dan agak kembung, saya tahan agak lama karena saya tidak bisa lewat pak, jalan macet total dan kendaraan saya tidak bisa digerakkan sama sekali. Saking sakitnya perut saya, lalu saya kentut pak. Saya sudah minta maaf dan sudah menjelaskan keadaan saya tetapi pemuka agama itu tidak terima dan akhirnya saya dilaporkan pak. Ya kalau menurut bapak kentut itu salah ya mau bagaimana lagi, saya pasrah.
Polisi : Karena anda sudah tahu duduk perkaranya, ya sudah, saudara saya tetapkan sebagai tersangka. Mulai minggu depan saudara harus menghadiri sidang perdana!!!
Seminggu kemudian, di pengadilan, si Budi mulai diadili.
Hakim : Silahkan Jaksa penuntut umum membacakan dakwaannya.
Jaksa : Saudara Budi telah menghina klien saya dengan kentut sewaktu klien saya berdoa pak.
Hakim : Mana Klien saudara jaksa penuntut?
Jaksa : Yang 50 orang ada dalam ruangan ini sementara yang berjumlah sekitar 7 jutaan berada di luar gedung pak Hakim.
Hakim : Saudara Budi, benarkah saudara kentut?
Budi : Benar pak hakim.
Hakim : Apakah saudara bermaksud menghina klien jaksa penuntut? Dengan kentut maksud saya?
Budi : Saya tidak bermaksud menghina pak hakim, saya kebelet dan tidak bisa kemana-mana.
Hakim : Kalau begitu saudara tidak sengaja?
Budi : Iya pak hakim.
Hakim: Sudah minta maaf?
Budi : Sudah pak hakim, tapi tiada maaf bagi saya…
Hakim: Ya sudah, karena paksaan warga yang banyak jumlahnya, dengan sangat terpaksa saya harus menjatuhkan hukuman kepada saudara. Apakah saudara Budi bisa memahami situasi saya?
Budi : Saya mengerti pak hakim. Silahkan hukum saya.
Hakim : Dengan demikian, melalui sidang ini, saudara Budi saya jatuhi hukuman penjara sekurang-kurangnya empat tahun penjara. Bilamana saudara Budi sudah berada dalam penjara selama kurang dari empat tahun, maka saudara bisa bebas.
Demikian sidang singkat ini saya tutup, harap maklum dan saya sekaligus ingin mengatakan bahwa saya mengundurkan diri dari jabatan hakim. Selamat siang dan terimakasih!
# # # # #
Kita mulai dari analisis struktur dahulu ya.
Contoh teks anekdot tersebut dibuka dengan abstraksi yang muncul pada kalimat pertama paragraph pertama yang disusul dengan orientasi yang muncul pada kalimat kedua hingga terakhir di paragraph pertama.
Reorientasi muncul pada dialog awal antara polisi dengan Budi dan dalam dialog ini digambarkan pada akhirnya si Budi harus menjalani sidang.
Krisis muncul saat sidang dimulai. Dalam hal ini, si Budi merupakan subyek cerita yang mengalami situasi terpojok dan tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Cerita ini dtutup dengan koda yang ditandai dengan putusan hakim terhadap hukuman Budi.
Tema dari anekdot ini berasal dari fenomena hukum dan sosial yang saat ini sedang hangat-hangatnya, yakni kasus penodaan agama.
Tentu teks anekdot tersebut merupakan fiksi sekaligus plesetan dari persitiwa nyata yang dijadikan rujukan cerita. Lantas apa yang dikritik dalam teks tersebut? Tak lain adalah sebuah peristiwa yang tidak terlalu penting namun menjadi ramai dan banyak menguras tenaga, focus, pikiran dan perasaan.
Apa sih penodaan agama ini? Apakah penting? Yup, saat ini menjadi kasus penting dan sangat sensitive yang mengubah paradigm berfikir masyarakat yang hidup dalam keberagaman.
Dulunya kasus penodaan agama ini muncul pada fenomena seperti ajaran sesat yang menggabungkan berbagai macam ajaran agama menjadi satu (masih ingat kan?).
Namun yang kini terjadi sebenarnya sama saja dengan yang dilakukan oleh pihak penuntut (misalnya dengan menyebut umat agama lain sebagai kafir) sehingga hampir mustahil jika kasus ini sebenarnya adalah murni kasus penodaan agama dan bela agama; ada agenda lain yang lebih pelik dari hal itu.
Saat inilah hukum diuji melalui kasus tersebut dan dari kasus itu kita tahu bahwa hukum di negri kita memang lucu dan menggemaskan. Apa boleh buat; aparatus hukum mana yang tak ngeri dengan ancaman ‘sejuta umat’ yang marah dan turun ke jalan?
pinterest.com
Suatu hari, Tono dan Tini berdiskusi mengenai keadilan hukum.
Tono : Menurutmu, apakah institusi hukum itu adil?
Tini : Tentu tidak!
Tono : Kok bisa?
Tini : Karena meski dua terdakwa yang berbeda melakukan suatu jenis kejahatan yang sama, keduanya tidak akan pernah mendapatkan hukuman yang sama. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Tono : Menurutmu hukum yang adil itu bagaimana?
Tini : hari gini kok kamu masih mau dibohongi pakai kata adil! Adil itu cuma ada dalam kamus dan tidak ada dalam kenyataannya.
Tono : Tapi kan dalam institusi hukum, keadilan selalu dijunjung tinggi!
Tini : Ya memang begitu, kata adil itu harus dijunjung tinggi. Kalau enggak bisa bahaya, soalnya akan berhadapan dengan orang-orang yang gemar dibohongi pakai kata adil.
# # # # #
Abstraksi dari teks anekdot tersebut terdapat pada satu buah kalimat di bagian paling awal yang berfungsi sebagai pengantar cerita.
Setelah abstraksi, orientasi muncul pada bagian dialog kedua antara Tono dan Tini yang membahas soal keadilan.
Orientasi ini disusul dengan munculnya krisis, yakni ketika Tini bicara bahwa adil hanya ada dalam kamus dan tidak ada dalam kenyataan. Koda dalam teks anekdot tersebut hadir pada dialog Tini paling akhir yang berfungsi sebagai sindiran sekaligus penutup dari teks anekdot tersebut.
Kira-kira apa ya tema yang diusung melalui contoh anekdot tersebut? Kata adil sering sekali muncul dan bahkan menjadi pokok diskusi utama antara Tono dan Tini.
Bila kita lihat dari dialog Tini, khususnya mengenai pendapat Tini tentang kata adil, maka inilah kiranya yang berperan sebagai sindiran atau bisa dengan kata lain sebagai pengingat kita akan makna kata adil itu sendiri.
Teks anekdot tersebut mengajak pembaca untuk memaknai kembali soal adil-keadilan; apakah adil itu ada? Apakah adil itu nyata? Apa makna adil? Jangan-jangan keadilan itu hanya sebuah konsep teoritis yang tidak pernah ada wujud nyatanya.
Oh ya? Bisa jadi demikian, bahkan institusi hukumpun tidak pernah bisa memberikan keadilan yang sepenuhnya sebagai mana kata adil itu bisa dimaknai sebagai tidak berat sebelah/sesuai porsinya/sepadan.
Contoh yang dilontarkan Tini terkait dengan dua terdakwa berbeda yang melakukan kejahatan dalam kategori serupa bisa mendapatkan jenis hukuman yang berbeda merupakan fenomena yang menarik sekaligus sering terjadi dalam sistem peradilan di negri kita. Parahnya, maling ayam bisa dihukum lebih berat dari koruptor.
plus.google.com
Suatu hari di sekolah, seorang guru bertanya kepada muridnya
Guru : Anak-anak, sebutkan pengertian dari kata adil?
Murid 1 : Seimbang pak!
Guru : Bagus, lainnya?
Murid 2 : Tidak berat sebelah pak…
Guru : Yak, itu sama dengan seimbang. Lainnya?
Murid 3 : Membela yang benar dan menghukum yang salah pak!
Guru : Bagus sekali, ada pendapat lain?
Murid 4 : Porak Poranda pak…
Guru : Kok bisa begitu?!
Murid 4 : Soalnya kemaren Bapak saya marah-marah ke tetangga sebelah bilang begini: “Yen koe ra gelem ngijoli, tak odal-adil omahmu!”…
Guru : Lalu?
Murid 4 : Lalu ayah saya memporak-porandakan seisi rumah tetangga saya pak…
Guru : Eee…eee…lalu?
Murid 4 : Lalu tetangga saya memporak-porandakan seisi rumah saya pak…
Guru : Eee….Lalu?
Murid 4 : Lalu polisi datang menangkap bapak saya dan tetangga saya. Keduanya dipenjara. Setelah itu hidup keluarga kami dan keluarga tetangga kami porak-poranda pak…
# # # # #
Secara structural, teks anekdot tersebut dimulai dengan kehadiran abstraksi pada kalimat singkat di bagian paling awal teks yang berfungsi sebagai latar cerita atau gambaran umum tentang cerita yang akan berlangsung.
Abstraksi ini disusul dengan orientasi yang muncul pada dialog-dialog antara guru dan murid yang membahas makna adil.
Krisis cerita muncul ketika ada murid yang memaknai kata adil sebagai porak-poranda. Krisis ini memuncak ketika si murid menjelaskan alasannya memaknai kata adil sebagai porak-poranda; dalam hal ini kata adil muncul sebagai kata sambung dalam bahasa jawa (odal-adil; ada juga odal-adul/orat-arit yang artinya kurang lebih adalah berantakan/porak poranda) yang diucapkan ayah si murid untuk mengancam tetangganya.
Koda teks anekdot tersebut berada pada dialog murid paling akhir yang mengatakan bahwa setelah ayahnya dipenjara, hidup keluarganya porak-poranda.
Teks anekdot tersebut mengandung sindiran terselubung atau tersamarkan dengan peristiwa dalam cerita. Namun demikian, kita bisa mendapatkan kode sindiran melalui ucapan si murid bahwa arti kata adil adalah porak-poranda.
Barangkali secara arti memang salah, namun secara kenyataan hal itu ada benarnya; hukum di negara kita sedang porak-poranda dan sakit parah.
tribunnews.com
Di ruang sidang….
Penuntut : Kami mohon keadilan pak hakim
Hakim :…Boleh sih, sayangnya saya ndak bisa ngasih keadilan nih. Gini aja, apa tuntutan kamu?
Penuntut : Terdakwa dihukum sesuai dengan hukuman yang kami ajukan, yakni didenda 40 milyar atas tindakannya menghina kami.
Hakim : Baiklah, dengan demikian keadilan di pengadilan ini saya ganti dengan tuntutan yang dijatuhkan kepada saudara terdakwa dan demi keamanan bersama saya harap terdakwa memenuhi tuntutan tersebut yakni denda 4 milyar rupiah atau dihakimi oleh masa yang menunggu di luar! Silahkan pilih sendiri.
# # # # #
Abstrasi dalam teks anekdot ini hanya singkat saja, yakni “di ruang sidang…” tentu tiga kata ini sudah sangat cukup jelas untuk menjadi informasi awal bahwa cerita anekdot ini mengambil setting di ruang sidang dan tentunya cerita ini berhubungan dengan sidang.
Orientasi cerita muncul pada dialog pertama dan kedua antara penuntut dan hakim.
Krisis muncul ketika penuntut mengajukan tuntutannya kepada terdakwa dan Koda alias penyelesaian sekaligus gong cerita muncul pada dialog hakim yang terakhir yang menjatuhkan hukuman tanpa basa-basi (apalagi analisis masalah).
Tentunya anekdot singkat tersebut bisa dimaknai sebagai kisah tentang fenomena peradilan di pengadilan yang seringkali semena-mena.
Memangnya ada? Tentu saja dan biasanya hal ini terjadi bila terdakwa tidak didampingi oleh kuasa hukum atau terdakwa ini merupakan orang apes yang kepepet dan tidak punya pilihan lain selain pasrah.
twitter.com
Suatu hari warga beramai-ramai menghajar seorang anggota DPR yang ketahuan melakukan tindakan asusila terhadap salah seorang warga di kota itu.
Ditengah asik-asiknya kerumunah warga itu memukuli pelaku tindak asusila, satu truk polisi datang untuk menenangkan situasi.
Pimpinan polisi dalam truk ini menembakkan pistol ke atas sambil berkata: “Berhenti, jangan main hakim sendiri…”Salah seorang warga menyahut:”kami nggak main hakim sendiri kok pak, kami ramai-ramai!” ucapan itu sekaligus di dukung oleh semua warga :”Betul! Betul! Hajar ni bangke satu tidak tahu malu”!
Kekerasan terus berlagsung. Apa boleh buat, polisi menangkap semua warga yang melakukan tindakan kekerasan dan membawa mereka semua ke kantor polisi.
Setelah diperiksa selama beberapa jam,. Akhirnya semua warga yang terkait tindak kekerasan didakwa dengan tuduhan melakukan tindak penganiayaan dan akhirnya mereka semua, sekaligus korban yang dipukuli, tentu saja korban yang dicabuli, berada dalam ruang sidang demi keadilan.
Hakim: (kepada warga) kenapa kalian main hakim sendiri?
Warga: Ya selama masih bisa mencoba main hakim sendiri, eh, bukan…main hakim beramai-ramai, kenapa tidak pak. Soalnya kalau kasus ini sudah sampai di tangan bapak, ya bapak dong yang main hakim sendiri, hehehe, maaf pak becanda. Jadi begini pak, maaf ya, langsung saja, kalau kasus sudah ditangani pengadilan, kasus ini bisa berjalan lama dan ujung-ujungnya si pelaku menang. Tapi kalau kasus ini berada di tangan kami, setidaknya si pelaku benjut dan si korban sedikit terobati sakit hatinya.
Hakim: Kalian menghina pengadilan. Tahu tidak kalau tindakan kalian itu melanggar azas keadilan?
Warga: Kami hanya sekali melanggar azas keadilan, lha berapa kali pengadilan telah melanggar azas keadilan?!!!
# # # # #
Abstraksi dari teks anekdot tersebut terdapat pada kalimat pertama dalam paragraph pertama di atas. Abstraksi ini langsung disusul dengan orientasi yang muncul pada kalimat kedua dalam paragraph pertama tersebut.
Orientasi ini langsung disusul dengan munculnya krisis yang terdapat pada kalimat ketiga dalam paragraph tersebut. Krisis ini terjadi di sepanjang teks dan berakhir pada koda yang ditandai dengan perkataan warga pada bagian paling akhir.
Tema yang dihadirkan dalam teks anekdot tersebut tentunya sudah terjelaskan pada dialog-dialog sindiran yang dilontarkan warga kepada para penegak hukum dan tema tersebut tentu bisa menjadi suatu kritik lucu terhadap praktik hukum yang selama ini terjadi di negara kita.
Nah teman-teman, kiranya demikianlah contoh-contoh teks anekdot hukum peradilan beserta analisis singkatnya yang bisa aku bagikan ke kamu.
Bila dirasa kurang, teman-teman bisa lho membaca contoh-contoh anekdot lainnya pada link berikut ini contoh teks anekdot. Ada juga contoh anekdot yang menyoal pendidikan dan bisa kamu baca di link berikut ini; teks anekdot pendidikan. Dan bila kamu tertarik untuk memahami anekdot lebih jauh lagi maka kamu bisa buka link ini; pengertian teks anekdot. Akhir kata, semoga artikel ini bermanfaat dan sampai jumpa pada artikel lainnya.