Artikel ini dibagi menjadi dua bagian, yakni contoh anekdot beserta analisis strukturnya, serta contoh teks anekdot yang berisi pengalaman pribadi.
Baiklah, tanpa berpanjang lebar, silahkan teman-teman baca selengkapnya contoh teks anekdot beserta analisisnya pada poin-poin berikut ini:
Sebelum kita mulai melihat contoh teks anekdot, ada baiknya kita bahas terlebih dahulu mengenai struktur teks anekdot.
Apa sih yang dimaksud sebagai struktur teks anekdot? Mengingat bahwa bentuk teks anekdot bisa bermacam-macam, maka aku akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai struktur teks anekdot yang paling umum; yakni anekdot yang berupa cerita tertulis.
Sebagaimana umumnya cerita, anekdot juga memiliki struktur lho.
Tapi sekali lagi apa sih struktur itu? Struktur adalah rangkaian dari berbagai jenis unit.
Sebuah pohon memiliki struktur dari atas ke bawah atau sebaliknya; rangkaian unit yang tersusun sedemikian rupa, yakni daun-ranting-batang-akar (kurang lebihnya inilah struktur pohon). Baiklah, kita akan melihat struktur kalimat agar kita juga bisa lebih mudah memahami struktur anekdot dan struktur pada umumnya.
Dalam sebuah kalimat, kita memiliki struktur yang sederhana, yakni subjek-predikat-objek dan tentunya ada juga unit keterangan yang membuat struktur kalimat tersebut lebih lengkap.
Kita mengenal struktur ini sebagai SPOK. Bila salah satu atau dua dari unsur tersebut hilang, maka kalimat tersebut akan aneh (dan belum layak disebut sebagai kalimat).
Lalu bagaimana dengan struktur teks tulisan cerita anekdot?
Umumnya suatu cerita selalu memiliki tiga unsur dasar, yakni pembuka-isi-penutup. Demikian juga dengan anekdot. Hanya saja, tiga unsur dasar ini masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian.
Jadi struktur dasar dari teks atau cerita anekdot adalah abstraksi (pembuka cerita)-orientasi (situasi awal cerita)-krisis (bagian dari isi; biasanya muncullah konflik/pokok permasalahan)-Reaksi (tanggapan tokoh cerita terhadap konflik)- koda (penutup).
Namun sekalilagi struktur tersebut hanya pedoman lho ya, karena bagaimanapun juga karya anekdot ini (terlebih pembuatnya) tidak mau begitu saja tunduk pada struktur tersebut.
Maksudnya membuat cerita anekdot berdasarkan struktur baku atau teoritis tersebut karena hal itu justru akan menghambat kreativitas sehingga struktur anekdot paling sederhana itulah yang boleh dibilang selalu muncul pada teks anekdot (pembuka-isi-penutup).
Baiklah, kita akan mulai belajar struktur anekdot beserta contohnya ya:
via facebook.com
Pada suatu hari, Pak Presiden melakukan kunjungan di suatu kota untuk meninjau keadaan di kota tersebut sekaligus silaturahmi kepada warga kota tersebut.
Tak lupa pak Presiden juga berpidato dan berpesan dalam pidatonya agar semua warga tidak mudah terpancing dengan isu SARA yang saat ini sedang memanas di berbagai wilayah di negri tersebut.
Pak Presiden disambut hangat hari itu, semua warga mencintainya karena ia merupakan Presiden jujur, rendah hati, dan sanggup untuk melakukan yang terbaik bagi negrinya. Acara tersebut berjalan lancar, aman, dan tertib. Lalu Pak Presiden kembali ke istana negara untuk melakukan pekerjaan selanjutnya.
Suatu hari setelah kunjungan tersebut, Pak Presiden mendapat kabar bahwa kemarin ada seorang anak kecil yang menangis terus dan tidak mau berhenti karena tidak bisa bertemu dengan Pak Presiden (barangkali karena saking cintanya anak itu pada presiden yang satu ini).
Mendengar kabar tersebut, Pak Presiden tertegun lama, lantas menyuruh stafnya untuk mencari nomor telfon orang tua anak yang menangis tersebut.
Tak lama kemudian, pak presiden menelfon si orang tua anak dan meminta agar diizinkan berbicara dengan anaknya.
Tentu saja berita tersebut menghebohkan banyak orang dan tidak sedikit orang-orang yang sinis dengan Pak Presiden mulai berkicau menyindir; “Presiden kok kerjaannya ngurusin anak kecil nangis”. Mendengar berbagai macam sindiran sinis yang beredar di dunia maya, Pak Presiden hanya tersenyum.
Di dunia yang lain yang tak terjangkau manusia, malaikat menemui tuhan dan melapor; “Tuhan, tugas saya untuk menguji presiden itu sudah selesai.” Jawab Tuhan, “Aku melihatnya, malaikatku”.
# # # # #
Contoh tersebut merupakan suatu anekdot yang tidak lucu (karena anekdot memang tidak selalu lucu).
Tentunya ada beberapa hal dari isi teks tersebut yang diambil dari kisah nyata serta ada hal lain yang bukan.
Tentunya, tujuan dari anekdot tersebut adalah untuk merekam suatu sifat baik manusia untuk tidak menelantarkan hal-hal kecil, terlebih hal ini dilakukan oleh seorang presiden; bila hal kecil saja dicuekin, bagaimana dengan hal besar?
Dari contoh tersebut, kita bisa melihat struktur cerita dari teks anekdot yang pertama.
Pengantar cerita atau abstrak berada di awal teks (paragraf pertama) abstrak ini tentu saja berisi latar belakang cerita serta sedikit mengulas tentang latar belakang tokoh yang sedang dibicarakan.
Orientasi awal isi cerita berada pada paragraf keempat, yang dimulai dengan kalimat "Suatu hari setelah kunjungan tersebut" yang mana pokok permasalahan mulai dimunculkan.
Selanjutnya, konflik muncul pada paragraf keenam yang dimulai dengan kalimat "Tak lama kemudian".
Pada paragraf tersebut pak presiden banyak mendapat sindiran dari para pesaing politiknya.
Reaksi juga muncul pada paragraf ini yang mana pak presiden hanya menanggapi sindiran yang ditujukan padanya dengan senyuman.
Koda atau pentup cerita berada dibagian paling akhir; tak jarang koda ini berisi ‘gong’ dari suatu anekdot. Koda ini berisi fiksi sekaligus nuansa dari teks; anekdot religius.
Nah, teman-teman, kita lanjutkan pada contoh berikutnya ya:
via detik.com
Suatu hari seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin ormas yang terkenal radikal sedang berkhotbah dihadapan para umatnya.
Pemimpin Agama: hadirin semuanya, barang siapa yang berlainan agama dengan kita adalah orang kafir, orang sesat yang tidak pantas kita jadikan pemimpin.
Barang siapa yang bekerja pada orang kafir, hendaklah kalian semua segera keluar dari pekerjaan dan mencari pekerjaan lain yang kita dapat dari pimpinan yang seagama dengan kita karena gaji yang kalian terima dari orang kafir adalah haram hukumnya.
Bla…bla…bla…kafir….bla…bla…bla…setan….bla…bla…bla…dan barang siapa yang menghina agama kita, wajib kita perangi. Kita wajib membela agama kita dan kita wajib membela tuhan. Paham?
Umat: (serentak) Pahaaaaaaaammmmmm!!!!!!
Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin agama ini dipanggil polisi, bukan karena tuduhan menistakan agama orang lain karena menyebut orang yang beda agama sebagai kafir, namun sebagai saksi yang akan memberikan keterangan bahwa Pak Gubernur yang kebetulan beda agama telah menistakan agama si pimpinan agama.
Sebagai seorang saksi, maka wajib hukumnya menyertakan keterangan riwayat hidupnya mulai dari sekolahnya hingga pekerjaan-pekerjaan yang pernah dijalaninya.
Lalu pemimpin agama ini menceritakan riwayat hidupnya termasuk pekerjaan-pekerjaan yang pernah ia jalani dan tak sengaja ia bercerita kalau ia pernah bekerja di sebuah perusahaan milik orang yang beda agama.
Lantas karena alasan tertentu (barangkali malu), maka ia sengaja mengucapkan nama perusahaan tempat ia bekerja dengan logat arab.
Pemimpin Agama: “Ya, kebetulan dulu saya juga pernah bekerja di …. ehm … dimana itu ya … ee … itu pak, Fitsa Het.
Polisi: Fitsa Het ya..?
Pemimpin Agama: Betul Fak Folisi
# # # # #
Nah, dari contoh anekdot tersebut, kira-kira bagaimana ya strukturnya?
Anekdot tersebut disusun dengan menggunakan dua bentuk tulisan, yakni narasi dan dialog.
Narasi awal atau paragraf pertama merupakan abstraksi dari anekdot ini, lalu paragraf kedua berisi dialog yang diucapkan pemimpin agama.
Dialog ini bukan lagi orientasi namun boleh dibilang sebagai konflik (lho, kok main lompat aja sih? Nanti akan aku jelaskan alasannya. Kenapa kok konflik? Ya silahkan baca saja teksnya; teks tersebut berisi konflik terhadap pihak tertentu.
Orientasi justru muncul pada paragraf berikutnya setelah dialog si umat; “selang beberapa waktu kemudian….bla…bla…bla”.
Hal ini disebut orientasi karena teks tersebut merupakan teks yang melompat dan memperkenalkan situasi yang lain, yakni situasi ketika si pemimpin agama tak lagi berkhotbah, namun melompat pada setting waktu ketika selang beberapa waktu kemudian(bisa sehari kemudian, dua hari kemudian, seminggu kemudian, dst.) ia dipanggil polisi untuk dijadikan saksi.
Koda pertama atau penyelesaian tahap awal dari teks ini muncul pada paragraf selanjutnya, yakni ketika si pemimpin agama mulai bercerita tentang riwayat hidupnya.
Teks ini memunculkan kejanggalan pada karakter si pemimpin agama, ternyata perbuatannya juga tidak sepenuhnya sejalan dengan pidato keagamaannya. Disebut sebagai koda karena fakta-fakta inilah yang ingin digaris bawahi atau menjadi inti dari teks anekdot tersebut.
Koda penutup muncul pada dialog selanjutnya; sindiran mulai terasa di bagian ini khususnya pada bagian akhir yang mana sindiran tersebut dibuat dengan tujuan menciptakan kelucuan. Membuat pembaca menertawakan si tokoh utama dalam teks ini. Tapi tentu saja kelucuan dalam teks ini relatif, ada kalanya hal ini lucu bagi orang tertentu dan ada kalanya tidak.
Baiklah teman-teman, kira-kira contoh teks anekdot beserta strukturnya sudah bisa dipahami bukan? Oke, kita beranjak pada contoh anekdot yang lain ya seperti yang akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.
Tidak menutup kemungkinan cerita anekdot ini dituliskan berdasarkan pengalaman pribadi.
Namun apakah semua pengalaman pribadi bisa menjadi teks anekdot?
Secara teoritis, bila merujuk pada pemahaman bahwa teks anekdot merupakan teks yang diciptakan berdasarkan kisah nyata, maka pengalaman pribadi pun memiliki kemungkinan untuk menjadi anekdot, misalnya pengalaman ketika bersekolah, di rumah sakit, berurusan dengan polisi, atau pengalaman melihat sesuatu yang dilakukan orang lain (aku kira melihat termasuk sebagai pengalaman pribadi meski barangkali tidak terlibat secara langsung).
Oleh karena itulah setiap orang bisa dan berhak menuliskan anekdotnya masing-masing meski barangkali tidak bisa dinikmati secara global, namun setidaknya teks anekdot dari pengalaman pribadi ini biasanya ampuh untuk dijadikan lelucon lokal (dipahami oleh penulis serta teman-teman dalam grupnya).
Tanpa berpanjang-panjang, sekarang aku akan mencoba menulis anekdot dari pengalamanku sendiri, semoga bisa berkenan bagi kalian semua.
via mimbarsaputro.wordpress.com
Harus kuakui bahwa aku pernah memiliki masa muda yang biru. Aku sebut sebagai biru karena aku suka warna ini, sementara orang lain menyebut masa laluku merupakan masa lalu yang kelam. Bodo amat.
Aku masih ingat ketika dulu aku sering mabuk-mabukan dan mengendarai motor kencang-kencang. Waktu itu aku sangat bangga mengatakannya, tetapi jelas tidak ketika saat ini (aku jauh lebih alim).
Waktu itu aku baru selesai minum bareng dengan teman-temanku dipinggir alun-alun kota. Malam hari tentunya. Minuman itu minuman gratis dari temanku yang ulang tahun.
Maka kami minum dengan beringas mengingat minuman itu gratisan. Selesai acara minum-minum, kami semua mabuk dan masing-masing berpamitan di sana.
Aku mabuk berat dan ingin rasanya segera pulang untuk merebahkan diri di kamar (aku tidak sudi tidur di jalan).
Maka, aku pacu motorku kencang-kencang. Tak ada seorangpun yang kutabrak (untungnya) hingga sampailah aku pada perempatan lampu merah yang kebetulan lampunya masih menyala merah, semerah mataku yang terasa berat.
Jelas aku nggak berhenti lah sebagaimana kendaraan yang lain; lha kan aku belok kiri dan harus jalan terus. Aku belok kiri dengan gaya yang aku rasa mirip vanlentino rosi di tikungan; tanpa mengurangi kecepatan.
Aman kok, aku nggak jatuh. Tapi sayangnya tak jauh dari lampu tersebut jalannya memang harus berbelok lagi ke kanan. Inilah malapetaka.
Aku tidak sanggup mengendalikan motorku karena, ya namanya orang mabuk, lupa mengerem sehingga aku menabrak patung polisi.
BRAAAKKK….patung polisi patah kakinya, motor hancur bentuknya, dan aku untungnya hanya terpental dan nyangkut di pohon yang rimbun daunnya.
Warga berdatangan, dan polisi beneran berdatangan. Jelas semuanya marah-marah, terutama pak polisi sungguhan yang datang ke TKP.
Polisi : (menyanyaiku) Kamu mabuk ya, kok bisa nabrak patung polisi sampai rusak?!
Aku : Nggak sih pak, tadi cuma minum dikit kok, nggak sampai mabuk.
Polisi : Ah, bohong, lha ini buktinya kamu nabrak.
Aku : Memang sengaja nggak aku rem kok pak motornya!
Polisi : Kok bisa?
Aku : Ini pembuktian saja sih pak, (dalam situasi ini, mabukku hilang dan akal sehatku mulai mencari seribu alasan) apakah aku akan selamat jika belok kiri jalan terus! Bapak lihat kan tulisan di lampu merah itu!
# # # # #
via pinterest.com
Waktu itu masih SMA, kelas 3 dan baru saja menyelesaikan UN. Entah karena apa, aku lulus dengan nilai terbaik.
Apakah aku murid yang pintar? Tentu tidak, aku sudah dapat plat kuning di sekolah, sama halnya dengan teman-teman sepermainanku di sekolah yang gemar membolos dan tak lupa mencoreng nama baik sekolah.
Hanya saja mungkin aku beruntung, atau mungkin ada kesalahan teknis sehingga jawabanku di UN yang tentu saja 90% salah (hanya aku yang tahu) malah mendapatkan nilai terbaik dan temanku yang boleh dibilang jenius malah berada pada peringkat bawah (jelas ia sangat syok dan hancur hatinya karena telah sekolah di sekolahan itu).
Tuhan kali ini tidak bisa menolong si jenius atau teman-teman pintar lainnya yang sial nasibnya; banyak diantara kami yang bodoh tapi justru bagus nilainya. Jika diteliti secara manual, jelas sekali kalau jawaban di soal UN kami hancur. Tanya kenapa? Komputer (atau mungkin operatornya) yang tahu!
Aku senang sekaligus panik karena pada malam perpisahan, aku harus berpidato yang intinya mengatakan betapa bangga aku telah sekolah di sekolahan itu (ini bapak ibu guru yang menyuruhku berpidato demikian).
Aku panik karena acara itu dihadiri oleh pak bupati dan petugas-petugas dinas pendidikan di kotaku. Maka mulailah aku pidato, dengan jujur dan tulus bahwa aku bangga!
“Selamat Malam,….bla…bla…bla…(10 menit membaca sambutan kepada yang terhormat siapa saja yang hadir pada malam hari itu dan aku lupa pada apa yang semestinya harus aku ucapkan -yang telah dituliskan pak Guru dan harus kuhapalkan- sehingga dengan apa adanya aku melanjutkan pidato.
Pada malam hari ini saya sangat bersyukur karena telah bersekolah di sini. Sejujurnya saya sangat bangga, karena bagaimanapun juga saya sangat senang jika saya bisa lulus meski meski selama saya bersekolah, saya dan teman-teman sering menikmati jam kosong sehingga kami bisa belajar mandiri. Inilah yang membuat saya bangga bersekolah di sini. Akhir kata, saya ucapkan banyak terimakasih…bla…bla…bla…
# # # # #
Nah, teman-teman, salah satu ciri teks anekdot berdasarkan pengalaman pribadi adalah penggunaan kata “aku” sebagai tokoh utama yang bercerita.
Teks tersebut bisa dibilang anekdot karena pengalaman-pengalaman tersebut merupakan pengalaman pilihan ketika berhadapan dengan instansi tertentu. Dalam teks tersebut, karena merupakan anekdot, harus pula disertai dengan sesuatu yang bisa dikritik.
Contoh ke 3 merupakan teks anekdot yang berisi sindiran kecil atas rambu-rambu lalu lintas yang bisa saja diselewengkan, sementara pada contoh ke 4 kita bisa membaca situasi ketika bersekolah.
Mungkin diantara kalian pernah mengalami hal serupa terkait dengan UN. Apakah kalian pernah berfikir bahwa mungkin saja sistem koreksinya sedang rusak atau sedang diretas tanpa sepengetahuan operator sehingga kacau? Bukankah hal ini sangat menentukan nasib para murid?
Yup, contoh ke 4 merupakan kritik untuk sekolahan dan instansi pendidikan di negara kita yang bagaimanapun juga masih harus bekerja keras untuk mencetak generasi masa depan yang lebih baik.
Akhir kata, demikianlah contoh-contoh anekdot yang bisa aku bagikan untuk teman-teman semua. Semoga artikel ini bermanfaat ya.